PURELOVE #1

Tuhan tau apa mau ku. Apa harapan yang telah ku senandungkan dalam doa hariku. Semburat awan ini menghantarkan pada cerita, tentang apa yang tertulis. Benar, semua yang telah berlalu lalang di hati hanya akan menjadi kisah yang "tersimpan" setelah ada yang berhenti ditempat yang tepat. Jaya, menjadi bagian pertama.
 ----------------------------------------------------- * ---------------------------------------------------
Ada masa dimana orang bisa bertukar tentang hal yang berbeda, dari sisi lain yang mereka punya. Tapi disini, belum sampai waktu dimana serius itu bertempat di fikiran. Bocah ini menyanyi saja senandung cinta tanpa adanya pembatas antara maunya dan waktunya.

* Siang itu, (sudut tembok ruang pendidikan: sekolah)

"Aku udah lama mematung untuk kamu, udah terlalu lama membungkam mulutku untuk mengucap. Aku memang bukan apa dan siapa untuk kamu lihat sebagai patung yang selalu berada dibelakangmu, tapi aku selalu mencoba menjadi patung yang tepat berdiri didepanmu. Aku bosan lama-lama menjadi patung. Sama sekali tak kau lihat bentuk ku, bahkan tidak kau lihat bagaimana gayaku. Sesekali kamu melirik aku, tapi tidak juga kamu jamah."

" Kau ngmg apa sih? hahaha dasar bocah sableng."

" Aku mencintaimu."

Dewi memandang dengan getar badannya. Tidak pernah teman diskusinya ini memperbincangkan hal seperti ini. Dia terlalu cerdas untuk membicarakan cinta, hingga terlihat tak pantas.

" HAHAHAHA.."

Tangan itu merebut jemarinya, lembut.. Dewi mencoba mengelak dan melepaskan. Namun, semakin erat saja.

"Kamu aneh, kita satu organisasi dan sering berdebat, kau ejek aku seperti orang bodoh. Lalu? Sekarang?"  Sinisnya bukan kepalang. Ada getar dihati, ketika genggaman itu tidak lagi mampu terlepas meski perlahan mencobanya. Pandangan Jaya semakin tajam.

"Kamu baik"

"Aku tidak ingin apapun kecuali ketegasanmu"

"Apa?"

"Jawab."

"Apa?"

"Kamu tidak bodoh untuk mengerti ucapanku, Wi. Aku cuma butuh tau."

"Kamu kan udah tau aku.. hahaha.."

"Wi...."

Hening.

"Aku tau kamu terlalu sulit, aku hanya mencoba. Aku tau apa yang akan aku hadapi nanti. Aku tau kamu begitu tenar dan bahkan mungkin aku terlalu bermimpi untuk bisa mendapatkan kamu. Aku cuma butuh jawaban." Genggaman yang bergoncang. Tatapan yang berkedip pun jarang.

"Aku tidak tau." Masih dengan susah payah berusaha melepaskan genggaman itu.
"Kita ada rapat, kamu pasti ditunggu. Ketua 'tu harus on time."

"Oke."

Hening.
Jaya berpaling.
Dewi hanya menatapnya sekejap dengan getar, entah itu cinta. Cinta? Atau takut?

Lelaki itu pergi begitu saja tanpa melihat belakang lagi. Tertunduk dan sedikit lesu. Meski tetap berjalan dengan gagah. Tapi guratan itu terlihat dari langkah gontainya. Kecewa.

'Menyesal tak ada jawaban itu, mungkin besok dia akan menjauh. Mungkin besok dia udah ga mau deket lagi. Mungkin dia besok udah ga mau ngobrol sama aku. Mungkin besok mulai diem. Mungkin.... Ahh, ya udahlah. Yang penting udah ngomong. Bodohnya aku !' Jaya masih saja membatin.

* Ruangan itu
Gaduhnya bukan kepayang. Diskusi yang seperti penjaja dipasaran. Mungkin masih labil kali ya.. jadi yaa, bisa ditebak seisi ruangan penuh dengan anggota organisasi yang labil. Layaknya anggota DPR yang berpendidikan tinggi mengeluarkan pendapat seperti kereta bertabrakan, panjang dan saling beradu isi kepala mereka. Bedanya, ini ruangan yang dibicarakan bukan hanya satu topik. Banyak men, banyak. X_x (liat: emot tutup muka).

"Woy! Bisa pada ngertiin yang lagi berpendapat ga?!!"

Dewi kaget bukan kepalang, dan seisi ruangan pun juga tercengang.

"Kenape tuh si Jaya, tumben amat kayak singa."

"Iya, aneh."

"Ketua kenape sih Wi, tumben sangar."

"Ga tau." Dewi mendelik. 'Bukan seperti ini juga kali Jay, kalo anak-anak pada tau ini pelampiasanmu, apa jadinya kamu didepan mereka nanti. Issshh, dasar!'

"Jay, aku ijin ke belakang sebentar."

"Ya."

Sedikit ragu Dewi pergi, tapi ini diharuskan hatinya. Ruangan itu membuatnya merasa bersalah. Ketika yang lain mulai mendelik satu per satu, Jaya mulai pembicaraan kembali.

"Sorry temen-temen, setidaknya kalian bisa lebih menghargai waktu dan ide seseorang. Kita juga harus membuktikan bisa bekerja dengan cepat dan cerdas pada Pak Wahyu. Indra tadi mengusulkan tentang perlombaan futsal antar kelompok. Volly antar kelas dan Peleton Inti antar kelas. Ada yang ingin menambahkan?"

Hening.

"Gimana, ada yang mau usul lain?"

"Kalo Peleton Inti per kelas apa gak terlalu ribet tuh, terus siapa yang mau nilai? senior kan pada masuk jadi panitia semua, ikut Osis semua."

"Kita bisa meminta guru untuk melakukan penilaian, seperti Pak Wahyu, bidang kesiswaan, setidaknya beliau memahami bagaimana praktek lapangan Peleton Inti."

"Hanya itu? Cukup satu?"

"Ya nggak mungkinlah Hep kalo cuma satu juri."

"Panitia inti bisa jadi juri, yang berkompeten dibidang itu." Jaya menambahkan.

"Siapa Jay?"

"Terus yang tadi, tentang futsal kelompok. Itu kayaknya ga seimbang deh Ndra. Mending sekalian aja deh per kelas." Adly menimpali.

Tok tok tok.

"Ya. Masuk." Jaya hanya sepintas melihatnya. Merasa bersalah melihat Dewi dengan langkah lesunya.

"Iya Ndra, kalo kelompok, ntar jatuhnya yang pada sering futsal bareng, yang jago-jago futsal juga, jadi bikin kelompok sendiri, gak seru itu mah."

"Lu kire ayam jago."

Hiruk pikuk tawa membahana.

"Ryan sialan!" Ima melempar pensil tepat ke kepalanya.

Riuh kembali.

"Jagonya nenekmu?!! Sukurr!!"

"Lampir!"

"Genderuwo!"

"Ciee nenek lampir sama genderuwo. Makhluk halus makhluk halus. hahahaha"

"Pasangan baru nih, hahahaha."

Gaduh kembali. Pembicaraan kembali berlanjut dengan mengejek satu sama lain. Sedangkan salah seorang anggota (baca: sekretaris :D) hanya diam tidak ikut ramai seperti biasanya. Jaya hanya melihat sepintas. Sampai pada akhirnya, sang ketua mengakhiri.

"Hahaha.. oke teman-teman, sekarang kita fix kan saja perlombaan intinya futsal, volly dan tonti. Tentang peraturan dan ketentuan selanjutnya kita TM lagi besok sore jam 2 ya. Berhubung kalian sudah ingin bercanda, kita tutup saja. Bagaimana?"

"Setuju Jay!"

"Setujuuuuuu!!"

Sore itu langit lukisan Tuhan terlalu indah untuk dilewatkan. Mereka yang keluar dari ruangan berpencar, pulang, kantin, dan taman beberapa tujuan langkah kaki mereka.
Dewi berkemas, tas yang sudah tertutup rapi, jaket yang sudah bersandar ditubuhnya, kemudian melangkah gontai.

"Wi, ikut kekantin ga?"

"Males ma, aku tunggu didepan aja ya."

"Beneran? Yaudah, aku sama Apri kekantin bentar ya. Jadi kan ntar?"

"Iya, jadi. Aku tungguin didepan."

"Aku beliin es ya Wi?"

"Gak usah Pri, tadi udah minum aku, hehehe."

"Kapan?"

"Waktu ke toilet, hahaha."

"Sialan! Pantes lama! Yaudah kita kekantin bentar, haus."

"Oks."

Langkahnya malas melanju, dia berjalan dengan lemas. Apa yang dibenaknya sudah menjadi pikiran berat yang harus segera dia selesaikan tanpa diketahui siapa pun. Termasuk sahabat-sahabatnya. Dia terus memikirkan sambil berjalan setengah melamun. tanpa melihat siapa yang sedari tadi berada dibelakangnya, bahkan




Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengertian ERD

CARA MEMBUAT LINK BERGERAK DI BLOG